Go with The Slow Bersama Royal Golden Eagle

Kebanyakan perempuan senang berbelanja pakaian dalam jumlah yang royal, tetapi ibu saya bukanlah kebanyakan perempuan. Ia lebih senang berbelanja busana seperlunya dengan kualitas terbaik, bahkan kerap kali justru menjahitnya sendiri. Dengan begitu, pakaian miliknya akan awet dan syukur-syukur bisa dilungsurkan pada anaknya kelak. Perilaku semacam ibu saya ini termasuk praktik slow fashion, tren berbusana masa kini yang digadang-gadang mampu menyelamatkan bumi.

Tak Lekang oleh Waktu

Saya bukanlah remaja ’80-an yang sedang tur ke masa depan saat teman saya berucap:

“Baju kamu vintage banget, Ra! Beli di mana?”

“Gak beli. Ini baju lama ibuku.”

“Hah, kok masih bagus? Punya mamaku udah gak tau ke mana. Udah dibuang kali ya,” dengus kawan saya sambil terbahak kecil.

Perputaran mode nyata cepatnya. Kemarin, trennya bisa berupa celana gombrong dengan kemeja motif kembang. Hari ini, baju berwarna teduh (earth tone) jadi idaman para remaja. Besok, mungkin trennya putar balik lagi ke era jeans sobek-sobek, lengkap dengan kacamata bundar Lennon. Semuanya serba bergulir, seperti halnya musim.  

Drastisnya perubahan musim yang terjadi di dunia fesyen membidani kelahiran fast fashion, sebuah pola produksi massal pakaian sekali pakai yang dibanderol dengan harga murah. Ciri utamanya adalah menggunakan bahan baku dengan mutu yang rendah sehingga produk yang dihasilkan mudah rusak atau tidak tahan lama.

Forbes dalam terbitannya tahun 2016 menyebut bahwa wanita tahun 1930-an hanya memiliki 36 pakaian, sedangkan wanita era sekarang memiliki 120 pakaian; di mana 80 persennya jarang dipakai. Gegar globalisasi dan fenomena FOMO (Fear Of Missing Out:  takut ketinggalan) diprediksi telah memengaruhi alam bawah sadar banyak orang untuk senantiasa tampil trendi tanpa berpikir panjang.

Didukung dengan keberadaan e-commerce, seseorang dapat dengan mudahnya hilir mudik ke berbagai toko online untuk memilih pakaian dan membandingkan harga dengan toko lainnya. Berbelanja pakaian yang sesuai dengan kebutuhan di masa sekarang menjadi hal yang paling sulit dilakukan, apalagi saat berhadapan dengan banyaknya promo dan diskon yang begitu menggiurkan.

Ancaman Fast Fashion

Antonio Guterres, sekjen PBB, pada 27 Juli 2023 silam menyebut bahwa bumi telah memasuki era pendidihan global (global boiling) dan bukan lagi pemanasan global (global warming). Terpantau bulan Juli tahun ini menjadi yang terpanas sepanjang 120 ribu tahun terakhir.

Fesyen menempati posisi kedua sebagai industri paling polutif di dunia setelah sektor energi (minyak). Rerata global menunjukkan bahwa setiap tahunnya 92 juta ton limbah tekstil dibuang ke tempat pembuangan akhir, yang kemudian bermuara ke lautan. Nahasnya, sebanyak 50 persen dari pakaian itu dibuang setahun setelah masa produksinya.

Dalam pembuatan satu kemeja katun misalnya, membutuhkan sekitar 700 galon air. Jumlah yang cukup untuk diminum oleh satu orang, 8 cangkir per harinya selama 3,5 tahun. Hal ini disebabkan lantaran bahan katun berasal dari tanaman kapas yang sangat intensif terhadap air.

Di banyak industri tekstil di Indonesia, air limbah seringkali tidak diolah dan dibuang begitu saja ke sungai. Padahal, air limbah ini mengandung senyawa beracun seperti merkuri, timbal, dan arsenik yang mengancam kehidupan biota air maupun kesehatan masyarakat tepi sungai.

Banyaknya orang yang mulai mengidap autoimun, PCOS, atau bahkan kanker akhir-akhir ini bukan muncul tanpa muasal. Salah dua biangnya adalah mikroplastik dan senyawa BPA pada tekstil non-ramah lingkungan.

Tekstil sintetis yakni poliester, nilon, dan akrilik— yang sering digunakan untuk membuat pakaian olahraga karena sifatnya yang ringan, mudah dicuci, dan cepat kering nyatanya menghasilkan mikroplastik (potongan plastik yang sangat kecil dan tidak pernah bisa terurai). Proses pencucian akan melepaskan 800 ribu serat mikroplastik ke laut. Manusia yang memakan seafood, tanpa sadar akan melahap mikroplastik yang meracuni tubuhnya.

Bisphenol A (BPA) biasa digunakan sebagai pengikat warna (dye-fixing) pada bahan tekstil berbasis plastik seperti poliester, poliamida, dan nilon. BPA ini melepaskan xenoestrogen yakni estrogen palsu. Masuknya xenoestrogen ke dalam tubuh akan memicu produksi estrogen berlebih daripada baseline normal. Sehingga, menyebabkan berbagai gangguang kesehatan terkait mood swing, pubertas dini pada anak perempuan, endometriosis (nyeri haid), kemandulan, kanker payudara, dan beragam komorbid fatal lainnya.

Sementara, bila kita cermati, perusahaan-perusahaan fast fashion gemar beroperasi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, Bangladesh, India, Vietnam, dan Kamboja. Kenapa? Karena di situlah mereka akan mendapatkan tenaga kerja yang murah tanpa perlu memedulikan keselamatan kerjanya (sweatshops). Para buruh dipaksa bekerja selama 14 hingga 16 jam sehari dalam seminggu dengan ancaman pemecatan bila enggan lembur.

Banyak kasus di mana mereka terpaksa berada di lokasi minim ventilasi, menghirup zat beracun, dan menghirup pasir yang diledakkan dengan kekuatan tinggi (sandblasting) saat memproduksi jins di pabrik Guangdong, Cina. Bahkan, tak jarang, perusahaan juga mempekerjakan anak di bawah umur seperti skema Sumangali pada remaja putri di India Selatan. Praktik perbudakan modern yang rasa-rasanya jauh dari sisi kemanusiaan dan keadilan.

Reset Mindset

Kita hidup dalam budaya update dan upgrade: hedonic treadmill. Yang pada realitanya justru menyandera kita.

Sebuah pakaian memanglah kebutuhan, tetapi pakaian gaya terbaru atau pakaian merek XYZ hanyalah keinginan semata. Itulah mengapa sebelum berbelanja, kita dianjurkan mengacu The Desert Island Litmus Test:

“When we’re considering a new or high status item, we should ask ourselves if we woukd still buy it if nobody else could ever seen it. Think again. That is what we called the desert island litmus (a soul-searching litmus).”

Kalau kata ibu saya, pakaian yang kita miliki haruslah beralasan. Artinya, punya fungsi, punya tempat, dan punya efek positif baik bagi diri kita yang memakai maupun lingkungan atau sosial.

Go with The Flow Slow

Antiesis dari fesyen serba kemrungsung (fast fashion) terwujud dalam slow fashion, yakni sebuah praktik penciptaan produk fesyen yang tahan lama, minim limbah, dan berkeadilan bagi lingkungan maupun masyarakat. Slow fashion mempunyai rumus yakni:

VALUE = QUALITY + FUNCTION

Berbahan alami, kualitas nomer wahid, dan model pakaian yang evergreen (tidak tergerus zaman) adalah beberapa penanda produk-produk slow fashion.

Beruntungnya, saat ini kita mengenal Royal Golden Eagle (RGE), sebuah perusahaan global besutan Sukanto Tanoto pada tahun 1973, yang memayungi kelompok perusahaan manufaktur berbasis sumber daya alam berkelanjutan.

Terus terang, saya tahu RGE lantaran tahun 2021 silam, Tanoto Foundation memfasilitasi lokakarya pelatihan Greener Future bagi anak muda dan saya pun keluar menjadi salah satu jawaranya. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan sekaligus membuktikan pada dunia bahwa RGE benar-benar mengemban filosofi mulianya yakni berorientasi pada 5C (Community, Country, Climate, Customer, and Company).

Sebagai perusahaan yang berupaya mendukung gaya hidup berkesadaran (sustainable living), RGE menghasilkan beragam produk ramah lingkungan, seperti fesyen berkelanjutan (sustainable fashion), energi bersih, daur ulang kertas (paper upcycling), dan beragam produk ramah iklim lainnya.

Untuk fesyen berkelanjutan, RGE digawangi oleh perusahaan Asia Pacific Rayon (APR) sebagai produsen rayon viskosa terintegrasi pertama di Asia, mulai dari perkebunan hingga produk akhir serat viskosa (farm to closet). Kamu penasaran kenapa APR bisa tergolong slow fashion? Yuk, simak!

Berbahan Serat Alami

Di APR, bahan baku pembuatan rayon viskosa diambil dari kayu selulosa yang mudah terurai di alam. Kayu selulosa ini berasal dari pohon akasia atau eucalyptus yang lebih hemat air dibandingkan tanaman kapas. Pohon-pohon ini bermukim di hutan tanaman industri milik grup APRIL (sister company APR) di Pangkalan Kerinci, Riau, yang hanya akan dipanen tiap 5 tahun sekali demi memastikan keberlanjutannya.

Rayon viskosa ini punya karakter yang halus, adem, ringan, dan menyerap keringat. Sehingga sangat cocok dikenakan saat cuaca panas dan di wilayah beriklim tropis seperti Indonesia. Kamu bisa pakai rayon viskosa untuk membuat kaos, kemeja, batik, handuk, bahkan gaun sekalipun!

Selain itu, karena bahannya natural, rayon viskosa ini juga skin friendly alias tidak menimbulkan iritasi pada kulit jenis apapun. Gatal dan kemerahan pada kulit bisa dipicu oleh paparan kain sintetis yang mengandung formalin. Iya, formalin yang biasa dipakai oknum Mawar saat membuat bakso ilegal ataupun untuk ngawetin mayat itu. Formalin dalam bentuk formaldehida pada industri tekstil bisa menghasilkan efek anti kerut. Jangan khawatir, rayon viskosa APR dijamin terbebas dari bahan-bahan berbahaya itu karena telah mengantongi sertifikat hijau.

Mengantongi Berbagai ‘Sertifikat Hijau’

Di antaranya: sertifikat bahan baku berasal dari hutan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification), sertifikat ‘Standard 100’ oleh OEKO-TEX yang menunjukkan produk rayon viskosa APR bebas dari kandungan berbahaya dan aman bagi bayi maupun anak-anak, sertifikat OK Biodegradability oleh ÜV Austria Belgium yang menandakan produk APR dapat terurai secara hayati di air maupun tanah, dan beragam sertifikat hijau lainnya.

Mendukung Ekonomi Sirkular

“Hmm… tapi kan slow fashion gak perlu alami-alami banget. Beli pre-loved kan juga bisa?”

Mengurangi sampah fesyen itu penting, tetapi menghentikan sampah sedari awal adalah hal yang jauh lebih penting. Ingat bahwa proses daur ulang sekalipun tak semudah mengedipkan mata. Kita perlu melepas kancing dan risleting atau bahkan mengekstraksi pewarna yang tertempel pada pakaian. Proses-proses ini membutuhkan sumber daya yang tak sedikit.

Karena itulah, APR dengan rayon viskosanya memiliki prioritas utama untuk menciptakan ekosistem ekonomi sirkular yang mendukung poin SDGs no. 12 yaitu konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, dengan mengusung bahan alami berkualitas terbaik. Menuju 2030, APR memiliki komitmen untuk mulai menggunakan 20 persen material daur ulang dari operasionalnya maupun saat ini telah menginisiasi #BarterMovement bersama Matahari store untuk penukaran jeans lama dengan kupon diskon. Wah, menarik ya!

Energi Bersih, Efisien, dan Pengolahan Bijak

Energi yang digunakan untuk melistriki pabrik APR disuplai dari 100 persen sumber daya terbarukan yakni pembangkit listrik tenaga biomassa dan solar panel. Solar panel ini telah memasok 11 megawatt listrik dan sebesar 20 megawatt pada 2025 mendatang.

Pabrik APR pun ditempatkan berdekatan dengan lokasi bahan baku guna memangkas emisi transportasi jarak jauh. Enam bus listrik karya Mobil Anak Bangsa senantiasa menemani karyawan APR saat pulang-pergi kerja!

Sejak 2019, APR juga menghemat 25 persen konsumsi air. Yang diharapkan pada tahun 2030, angka penghematannya mencapai 50 persen.

Sementara untuk buangan limbahnya, APR menggunakan sistem kontrol loop tertutup yang akan memfiltrasi lebih dari 90 persen bahan kimia selama proses pembuatan agar limbah menjadi aman ketika di release ke lingkungan.

Bertumbuh Bersama Warga Lokal

APR juga mengajak orang-orang di republik ini untuk mulai berpikir bahwa target 10 decacorn dan 100 unicorn pun, sebenarnya kurang manfaatnya ketika barisan kuda ini hanya menarik kereta-kereta berisi produk ‘made in negara orang’.

Dalam misi memberantas kemiskinan sepanjang radius 50 km operasionalnya, APR membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar maupun memberdayakan komunitas lokal. Dari 700 karyawan APR di Pangkalan Kerinici, sebanyak 57 persennya berasal dari Provinsi Riau. Bahkan, APR turut menyediakan 3 sekolah bagi anak karyawannya, yakni Mutiara Harapan (standar IB World dan Cambridge), Taruna Andalan dan Global Andalan (standar nasional). Sehingga, harapannya para karyawan tak perlu repot-repot lagi mencari sekolah berkualitas bagi anak-anaknya.

Selain itu, APR bermitra dengan para pengrajin batik lokal untuk mengadakan pelatihan bulanan. Meliputi: peralihan ke penggunaan bahan-bahan alami seperti rayon viskosa, pewarnaan, desain, pemasaran digital, dan perencanaan bisnis. Beberapa mitranya antara lain: pengrajin Batik Seruni di Kabupaten Siak, Riau dan pengrajin Batik Lasem di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Yang mana mereka tumbuh seiring berlangsungnya bisnis APR.

Transparan

Ibarat orang, APR ini adalah tipe ektrovert. Karena kebiasannya unjuk gigi soal rekam jejak karbon mereka dari mulai rantai suplai hingga emisi yang berhasil dikurangi setiap tahunnya. Konsumen yang penasaran dengan ‘dapur APR’ hanya perlu ketikkan  www.followourfibre.com atau scan barcode produk viskosa APR untuk tahu detailnya.

Nah, kalau kamu tertarik buat beli produk APR, bisa hubungi tim sales mereka di info@aprayon.com ya!

Atau kalau kamu masih ragu beneran gak sih APR & RGE seramah lingkungan itu? Saya siap meladeni debat 5 hari 5 malam *Sabtu-Minggu tetap libur.

Penutup

Prada pernah bilang bahwa fashion is an instant language, what you wear is how you present yourself. Nah, kalau kata saya, how you dress is the way you value yourself. Mari menghargai hidup, alam, dan sekitar kita lewat keputusan berbusana yang bijak!

Bersama Royal Golden Eagle (RGE) dan Asia Pacific Rayon (APR), yuk sama-sama wujudkan iklim fesyen yang lestari! Dari ibu untuk anaknya tersayang, dari produsen untuk masa depan penuh kebaikan.

**